Banyak artikel atau tulisan yang mengisahkan tentang
Kiansantang dan sebagian diantaranya bertolak belakang antara cerita satu
dengan cerita lainnya, namun itu tidak bisa disalahkan karena ada bukti—bukti
yang memperkuat tulisan mereka. Ada versi yang mengatakan bahwa Kiansantang
keturunan Tarumanegara yang hidup pada abad ke 6 masehi dan merupakan anak dari
Prabu Damunawan dan Sobakencana. Dan ada juga versi yang mengatakan bahwa Kiansantang
keturunan Pajajaran yang hidup pada abad ke 13-14 masehi dan merupakan anak
dari Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang. Wallahu’alam. Pada penulisan ini
saya menggabungkan sumber-sumber bacaan tentang Kiansantang, yang satu sama
lain ceritanya agak bertentangan. Setelah saya baca dengan seksama maka jadilah
artikel saya ini. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.
Waliyullah (kekasih Allah) tersebar dimana-mana salah
satunya di Jawa Barat. Banyak makam-makam
waliyullah yang ramai diziarahi, terutama pada waktu-waktu tertentu.
Salah satunya adalah makam Sunan Rohmat Suci yang berdiri
di sebuah bukit di wilayah Garut. Sunan Rohmat Suci tidak lain adalah Kian
santang yaitu tokoh tasawuf dari tanah pasundan yang ceritanya melegenda khususnya
di hati masarakat pasundan dan kaum tasawuf ditanah air pada umumnya.
Tokoh Kiansantang pertama kali terkenal di bumi pasundan
dikisahkan oleh raden Cakrabuana atau pangeran Walangsungsang ketika
menyebarkan Islam di tanah Cirebon dan Pasundan. Pangeran Cakrabuana adalah
anak dari seorang Raja Pajajaran yaitu Prabu Siliwangi atau Prabu Jaya Dewata,
yang dilahirkan dari permaisuri ketiga yang bernama Nyi Subang Larang. Nyi
Subang Larang adalah murid dari mubaliq kondang yaitu Syekh Maulana Hasanudin
atau terkenal dengan Syekh Kuro Krawang.
Bermula ketika Raden Walangsungsang memilih untuk pergi
meninggalkan Galuh Pakuan atau Pajajaran, yang disebabkan oleh perbedaan haluan
dengan keyakinan yang ayahnya peluk yakni agama "shangyang".
Diriwayatkan Raden Walangsungsang berkelana mensyiarkan islam bersama adiknya
yaitu Rara Santang (ibu dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati) dengan
membuka perkampungan di pesisir utara dengan bantuan Ki Gendeg Tapa yang tak
lain adalah ayah dari Nyi Subang Larang yang berarti kakek mereka. Di
perkampungan inilah akhirnya menjadi cikal bakal Kerajaan Caruban atau
Kasunanan Cirebon yang sekarang adalah "Kota Madya Cirebon".
Legenda Kiansantang diambil dari sebuah kisah nyata, dari
tanah pasundan tempo dulu yang ceritanya tersimpan rapi berbentuk sebuah buku
di perpustakaan Kerajaan Pajajaran. Buku itu bisa ada disana karena dulunya Pajajaran
adalah hasil dari penyatuan dua kerajaan yaitu Galuh dan Sundapura. Kerajaan
Galuh dan Sundapura adalah dua kerajaan pecahan dari Kerajaan Tarumanegara,
yang di masa Prabu Purnawarman yaitu raja ketiga dari Kerajaan Tarumanegara,
sengaja dibangun istana baru yaitu Sundapura (pertama kali istilah Sunda ada) dan kemudian oleh Trusbawa menantu
Linggawarman Raja ke 12 atau Raja terakhir Kerajaan Tarumanegara dijadikanlah
Ibu kota tersebut menjadi Kerajaan Sundapura. Sedangkan, Galuh dijadikan hadiah
pada Writekandayu adik dari Gagak Lumayung karena berhasil mengusir penjajah
Dinasti Tang tahun 669 masehi yang hendak menguasai Tarumanegara.
Pada abad ke 13 masehi Prabu Jaya Dewata dapat menyatukan
kembali dua pecahan Kerajaan Tarumanegara tersebut menjadi satu kembali dengan
nama baru yakni Pajajaran, dengan jalan mengawini kedua putri dari kedua
kerajaan tersebut. Karena pada waktu itu kedua kerajaan tersebut tidak
mempunyai putra maka secara otomatis kedua kerajaan tersebut menjadi hak waris
Prabu Jaya Dewata.
Mengenai buku yang ditemukan Raden Walangsungsang yang bercerita mengenai
Kiansantang mengisahkan bahwa Raja Tarumanegara ke 7 yaitu Prabu Singawarman
mempunyai seorang putri yang bernama
Sobakencana. Sobakencana dinikahkan dengan Bagawan Manikmaya alias Prabu
Damunawan. Atas pernikahan mereka Prabu Singawarman menghadiahi mereka bumi
Kendan atau kerajaan Kendan.
Di buku yang ditemukan yang ditemukan Raden
Walangsungsang dikisahkan waktu itu
yaitu abad ke 6 masehi atau tepatnya tahun 669 masehi pernah terdapat putra
mahkota yang sakti mandraguna, tubuhnya kebal, tak bisa dilukai senjata jenis
apapun. Auranya memancarkan wibawa seorang kesatria sejati, dan sorot matanya
menggetarkan hati lawan. Dia adalah GAGAK LUMAYUNG. Gagak Lumayang adalah anak
dari Bagawan Manikmaya alias Prabu Damunawan dan Sobakencana yang masih
keturunan kerajaan Tarumanegara. Dalam cerita di tataran sunda dan sekitarnya
tak ada yang mampu mengalahkan ilmu kesaktian Gagak Lumayung.
Suatu saat datang pasukan dari dinasti TANG yang hendak
menaklukkan kerajaan Tarumanegara, namun berkat kesaktian Gagak Lumayung pasukan
TANG dapat di halau dan lari tunggang langgang meninggalkan Tarumanegara. Semenjak
itu Raden Gagak lumayung diberi sebutan ''KI AN SAN TANG'' atau yang artinya
''penakluk pasukan tang''. Sejak saat itu nama Kiansantang melekat pada
dirinya.
Diceritakan Kiansantang ini karena saking saktinya hingga
rindu ingin melihat darahnya sendiri seperti apa. Hingga sampailah suatu ketika
saat dia mendapat wangsit di tapa bratanya bahwa di tanah Arab Mekkah terdapat
orang sakti mandraguna yang tak terkalahkan yang bernama Syaidinna Ali dan
menurut wangsit sebelum pergi Kiansantang harus berubah nama menjadi GALANTRANG
SETRA. Akhirnya Kiansantang pergi ke tanah arab. Konon, dengan ajian Napak
Sancangnya Kiansantang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja.
Hatinya tak sabar lagi ingin bertemu Syaidinna Ali.
Sepanjang perjalanan dia membayangkan pertarungan hebat antara dirinya dengan Syaidinna
Ali. Terbesit juga dalam pikirannya
bahwa akhirnya dialah yang menang. Dengan begitu maka dia akan dikenal sebagai
pendekar hebat di seluruh jagat, bukan hanya di tanah Pasundan.
Di mana dalam ceritanya ketika sampai di pesisir Galantrang
Setra bertemu seorang pria yang gagah, badannya tegap dan suaranya berwibawa.
,dan kepadanya Kiansantang minta untuk di tunjukkan di mana Syaidinna Ali
berada. Kepada orang itu Galantrang Setra bertanya, “Apakah Anda kenal dengan
Sayyidina Ali?” “Oh, kenal sekali!” Jawabnya dengan ramah. “Bisakah Anda
mengantar saya ke rumahnya?” Tanya Galantrang Setra sekali lagi. “Oh bisa,
tentu bisa!”
Tanpa banyak basa-basi lagi, mereka berdua melangkahkan kaki
menuju rumah Syaidinna Ali. Semakin jauh melangkah detak jantung Galantrang
Setra terasa makin cepat. Pertarungan tidak lama lagi terjadi, pikirnya.
Baru saja beberapa puluh meter melangkah, tiba-tiba lelaki yang
mengantarnya itu berhenti sambil menengok ke belakang. “Galantrang, tongkatku
ketinggalan. Tolong ambilkan!” Katanya. Galantrang Setra menolak. Pantang
baginya disuruh-suruh orang. Apalagi oleh orang Arab yang baru dia kenal.
“Kalau kamu tidak mau mengambilkan tongkatku, maka aku tidak
akan mengantarmu ke tempat Syaidinna Ali,” ancam orang Arab itu. Maka terpaksa Galantrang
Setra menuruti perintahnya. Tentu saja hatinya menggerutu.
Ketika sampai di tempat yang dimaksud Galantrang Setra
mencabut tongkat itu dengan tangan kiri. Dikiranya ringan, karena tertancap
ditumpukan pasir. Ternyata sulit dicabut. Kemudian dia mengambilnya dengan
tangan kanan. Masih juga tak bisa dicabut. Akhirnya dengan kedua tangan. Aneh,
sama sekali tongkat itu tak dapat digerakkan. Galantrang Setra penasaran.
Dicobanya sekali lagi dengan mengerahkan seluruh kekuatan lahir dan batinnya.
Apa yang terjadi? Tongkat tetap tidak tercabut, malah kedua kakinya amblas
terperosok ke dalam hamparan padang pasir.
Tapi, sebagai jawara dia pantang menyerah. Namun, setelah
sekian lama mengerahkan seluruh tenaga dan terus menerus membaca mantera,
kakinya malah makin amblas. Bahkan, keluar darah dari seluruh pori-pori
tubuhnya. Ketika itu, Galantrang Setra tercengang melihat darahnya sendiri.
Tiba-tiba orang Arab itu datang menghampiri. Dengan membaca basmallah dia
mencabut tongkatnya dengan mudah. Bersamaan dengan itu, hilang pula darah di
sekujur tubuh Galantrang Setra.
Sungguh sangat menakjubkan. Galantrang Setra kagum pada
kehebatan kalimah yang dibaca si pemilik tongkat. Dia ingin sekali hafal
mantera tersebut untuk menambah kesaktiannya. Jika nanti bertarung dengan Syaidinna
Ali, mantera itu akan dibacakan olehnya. Pasti dia menang, pikirnya. Maka dia
minta diajari membacanya. Tapi orang Arab itu menolak mengajarinya, karena Galantrang
Setra bukan orang Islam. Kalau mau Galantrang Setra harus masuk Islam terlebih
dahulu.
Mereka terus berjalan menuju rumah Syaidinna Ali. Di tengah
perjalanan ada seorang bertanya, “Kenapa kamu terlambat pulang Ali?” Mendengar
nama Ali disebut, Galantrang Setra amat terkejut. Dia tak menduga sama sekali,
bahwa orang yang sedang bersamanya adalah Syaidinna Ali r.a yang tak lain
adalah menantu dari baginda Rasulullah Muhamad saw. Mendadak muncul pikiran,
bagaimana mungkin dirinya dapat mengalahkan Syaidinna Ali, sedangkan mencabut
tongkatnya tidak bisa sampai-sampai berkeringat darah.
Rasa takut dan malu bercampur jadi satu. Keberanian Galantrang
Setra hilang sirna. Seluruh ilmu kanuragan yang selama ini jadi kebanggaannya serasa
lenyap seketika. Mungkin lebih baik pulang saja, pikirnya. Tak ada gunanya
berlama-lama di Arab. Enggan baginya bertemu lagi dengan Syaidinna Ali.
Namun ketika dalam perjalanan pulang dia bingung tak tahu
jalan. Langkah kakinya tak tentu arah. Seperti ada kekuatan yang menghalanginya
pulang. Di sela-sela istirahat melepas lelah, dia teringat pada mantera yang
diucapkan Syaidinna Ali. Betapa hebatnya mantera itu, pikirnya.
“Kau harus masuk Islam!” Suara ini terngiang-ngiang di
telinga Galantrang Setra. Ya, aku harus masuk Islam jika ingin diajari kalimah
sakti itu. Padahal, selama ini, dia menganut agama Hindu, memuja Sang Hyang
Widhi Wasa. Bagaimana pula dengan ayahandanya Prabu Damunawan, jika tahu dia
meninggalkan agama leluhurnya.
Akhir Galantrang Setra memutuskan bersedia masuk Islam demi
memiliki ilmu linuwih. Karena itu, dia kembali menemui Syaidinna Ali. Di sana
dia dibimbing mengucapkan dua kalimah syahadat. Juga dibimbing mengucapkan
basmallah. Selain kalimah-kalimah tadi, banyak lagi kalimah-kalimah lain yang
dia hafalkan selama dia mukim di Arab. Konon, setelah dua puluh hari belajar
agama Islam Galantrang Setra pulang ke Galuh.
Setibanya di Galuh, dia segera menghadap ayahandanya. Dia
ceritakan pengalamannya di tanah Arab dari mulai bertemu dengan Syaidinna Ali
hingga masuk Islam. Kini dia percaya kalimah Bismillah dan syahadat sangat
hebat faedahnya. Karena itu dia berharap ayahandanya masuk Islam juga.
Mendengar kehebatan Syaidina Ali, Prabu Damunawan sangat
kagum dan tidak keberatan anaknya, Raden Gagak Lumayang alias Raden Kiansantang
memeluk Islam jika memang dia suka. Tapi, bagi dirinya tidak mungkin meninggalkan
agama Hindu yang sejak puluhan tahun dianutnya.
Betapa kecewa hati Kiansantang karena ayahnya menolak masuk
Islam. Padahal menurutnya, Islam-lah agama yang benar. Dengan susah payah, dia
membujuk ayahnya. Tapi tiada hasilnya Prabu Damunawan tetap memuja dewa. Hal
ini membuatnya sadar, bahwa pengetahuannya tentang Islam masih sedikit sekali
dan belum memahami cara-cara dakwah.
Akhirnya Kiansantang kembali ke Arab untuk belajar Islam
lebih mendalam. Setelah tujuh tahun bermukim di sana, Kiansantang pulang lagi
ke Galuh dan berganti nama menjadi Haji Lumajang (Pangeran Lumajang Kudratullah) atau Sunan Godog.
Cerita tersebut membumi sekali sampai saat sekarang. Dan
yang aneh, kebanyakan orang menduga kalau Kiansantang itu adalah Raden Walangsungsang.
Padahal banyak sekali cerita yang sepadan dengan kisah Raden Walangsungsang
tersebut. Yang sesungguhnya dialah yang mengisahkan justru Raden Walangsungsang
yang di kira Raden Kiansantang. Tujuannya adalah hanya sebagai media dakwah dan
penyebaran Islam di bumi Cirebon dan sekitarnya.
Sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang menyangka
Raden Walangsungsang adalah Kiansantang bahkan ada yang menafikan Kian Santang
adalah anak dari Prabu Siliwangi yang mempunyai kakak Walangsungsang dan adik
Rarasantang. Tentu hal ini akan membuat bingung karena Syadinna Ali hidup
antara tahun 500-650an sedang Raden Walangsungsang atau babad tanah cirebon itu
sekitar tahun 1400an.
Raden Walangsungsang mengambil cerita ini dari perpustakaan
kerajaan Pajajaran dengan pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya,
Yang di mana Kiansantang setelah pulang dari arab dia ingin mengislamkan
ayahnya Prabu Damunawan namun di tolaknya dan Kiansantang memilih meninggalkan
istana Galuh dan tahtanya diberikan kepada adiknya yaitu Writekandayu.
Begitu pula Raden Walangsungsang yang pernah merantau ke Arab
dan menikahkan adiknya Rara Santang yang di ambil istri oleh putra kerajaan
mesir waktu itu dan pernikahan berlangsung di mesir yang. Dari perkawinan
inilah lahir Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Keinginan Walangsungsang untuk mengislamkan Prabu Siliwangi
pun ditolak mentah-mentah dan ayahnya tidak ingin bertarung dengan anaknya maka
dia memilih mensucikan diri atau bertapa, konon Prabu Siliwangi menjelma menjadi
macan.
Pengambilan kisah penokohan dalam sebuah ceritra seperti ini
sebenarnya pernah pula terjadi pada era sebelum Raden Walangsungsang yang
tepatnya dilakukan oleh Raja Jaya Baya (raja islam pertama di tanah jawa) dari
kerajaan Panjalu atau Kediri, di mana sewaktu masih di pegang Raja Airlangga
kerajaan tersebut bernama Kerajaan Kahuripan dan karena kedua anaknya semua
meminta tahta maka Kahuripan di bagi dua menjadi Kerajaan Panjalu dan Penggala.
Sepanjang perkembangan dua kerajaan tersebut selalu bermusuhan dan pada masa
Kerajaan Panjalu dirajai oleh Jaya Baya, Panjalu mampu menaklukkan Jenggala dan
disatukan lagi antara Jenggala dan Panjalu.
Pada waktu Panjalu menaklukkan Jenggala, Raja Jaya Baya
meminta empu Sedha dan empu Panuluh untuk mengutip naskah dari india yang
judulnya Maha Barata. Namun diferifikasi dengan gaya jawa. Sebagai perlambang
atas kemenangan perang saudara Panjalu atas Jenggala. Yang akhirnya kitab
tersebut di beri judul Barata Yuda. Dan dalam kisah klasik jawa ini banyak
kalangan masarakat yang mengira bahwa Jaya Baya adalah kelanjutan dari trah
barata yaitu cicit dari Parikesit putra Abimanyu dan kakek dari Angling Darma,
padahal itu hanya fiksi. Juga kisah lainnya yang serupa pernah pula hadir ke masyarakat
yang tujuannya waktu itu sebagai media dakwah untuk melindungi rongrongan
ajaran syariat terhadap kaum sufi. Maka ketika bergerak menyebarkan islam WALI
SONGO menurut banyak kalangan membuat cerita al-halaj dalam versi indonesia
yaitu cerita Syekh Siti Jenar. Yang menurut Dr. simon dari UGM berdasarkan
temuannya karya-karya besar berupa naskah suluk dari Sunan Kalijaga dan lain
sebagainya. Dapat di pastikan tokoh Siti Jenar adalah imajener hanya untuk
media dakwah dan melindungi Islam agar tetap pada ajaran ahlusunah wa jamaah. Dan
sampai saat ini pendapat itu masih simpang siur dan menjadi perdebatan dan
polemik panjang oleh para ahli sejarah di tanah air.
Kembali mengenai Kiansantang. Seperti sufi pada umumnya,
fase perjalanan hidup diakhiri dengan lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Konsentrasi pikiran hanya tertuju pada-Nya. Dia hindari segala perkara yang
dapat memalingkan hati pada selain Yang Di Atas. Untuk itu Prabu Kiansantang
memilih uzlah, menjauhi keramaian dan
gemerlap kehidupan istana.
Dikisahkan, seusai serah terima jabatan, Kiansantang pergi
mencari tempat sepi dengan membawa sebuah peti. Mula-mula pergi menuju Gunung
Ciremai yang cukup tinggi dan hawanya sangat dingin. Setelah sampai di sana,
peti itu diletakkan di atas tanah. Ternyata si peti diam saja, tidak bergoyang.
Ini tanda bahwa tempat itu tidak cocok untuk dihuni.
Kemudian, Kiansantang meninggalkan tempat itu dan pergi ke
arah barat menuju Tasikmalaya. Sesampainya di sebuah gunung, dia letakkan lagi
peti tersebut. Ternyata si peti diam juga, tidak memberi isyarat bagus. Maka
tempat itu pun dia tinggalkan.
Akhirnya, dia kembali pergi menuju arah utara, ke wilayah
Garut. Ketika sampai di sebuah gunung, diletakkanlah peti petunjuk itu di atas
tanah. Tiba-tiba si peti bergoyang-goyang. Ini pertanda tempat itu baik untuk
dihuni. Maka disitulah Kiansantang tinggal hingga wafatnya setelah bertafakur
selama sembilan belas tahun.
Sumber :
1. http://my.opera.com/Jiwa558/blog/show.dml/2857408/
2. http://kiansantang.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar