Welcome to My blog
<bgsound src="http://midi.homemusician.net/files/the_pretenders/ill_stand_by_you.mid"> </bgsound>

21.1.12

Eyang Prabu Kiansantang




Banyak artikel atau tulisan yang mengisahkan tentang Kiansantang dan sebagian diantaranya bertolak belakang antara cerita satu dengan cerita lainnya, namun itu tidak bisa disalahkan karena ada bukti—bukti yang memperkuat tulisan mereka. Ada versi yang mengatakan bahwa Kiansantang keturunan Tarumanegara yang hidup pada abad ke 6 masehi dan merupakan anak dari Prabu Damunawan dan Sobakencana. Dan ada juga  versi yang mengatakan bahwa Kiansantang keturunan Pajajaran yang hidup pada abad ke 13-14 masehi dan merupakan anak dari Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang. Wallahu’alam. Pada penulisan ini saya menggabungkan sumber-sumber bacaan tentang Kiansantang, yang satu sama lain ceritanya agak bertentangan. Setelah saya baca dengan seksama maka jadilah artikel saya ini. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.
Waliyullah (kekasih Allah) tersebar dimana-mana salah satunya di Jawa Barat. Banyak makam-makam  waliyullah yang ramai diziarahi, terutama pada waktu-waktu tertentu. Salah satunya adalah makam  Sunan Rohmat Suci yang berdiri di sebuah bukit di wilayah Garut. Sunan Rohmat Suci tidak lain adalah Kian santang yaitu tokoh tasawuf dari tanah pasundan yang ceritanya melegenda khususnya di hati masarakat pasundan dan kaum tasawuf ditanah air pada umumnya.
Tokoh Kiansantang pertama kali terkenal di bumi pasundan dikisahkan oleh raden Cakrabuana atau pangeran Walangsungsang ketika menyebarkan Islam di tanah Cirebon dan Pasundan. Pangeran Cakrabuana adalah anak dari seorang Raja Pajajaran yaitu Prabu Siliwangi atau Prabu Jaya Dewata, yang dilahirkan dari permaisuri ketiga yang bernama Nyi Subang Larang. Nyi Subang Larang adalah murid dari mubaliq kondang yaitu Syekh Maulana Hasanudin atau terkenal dengan Syekh Kuro Krawang.
Bermula ketika Raden Walangsungsang memilih untuk pergi meninggalkan Galuh Pakuan atau Pajajaran, yang disebabkan oleh perbedaan haluan dengan keyakinan yang ayahnya peluk yakni agama "shangyang". Diriwayatkan Raden Walangsungsang berkelana mensyiarkan islam bersama adiknya yaitu Rara Santang (ibu dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati) dengan membuka perkampungan di pesisir utara dengan bantuan Ki Gendeg Tapa yang tak lain adalah ayah dari Nyi Subang Larang yang berarti kakek mereka. Di perkampungan inilah akhirnya menjadi cikal bakal Kerajaan Caruban atau Kasunanan Cirebon yang sekarang adalah "Kota Madya Cirebon".
Legenda Kiansantang diambil dari sebuah kisah nyata, dari tanah pasundan tempo dulu yang ceritanya tersimpan rapi berbentuk sebuah buku di perpustakaan Kerajaan Pajajaran. Buku itu bisa ada disana karena dulunya Pajajaran adalah hasil dari penyatuan dua kerajaan yaitu Galuh dan Sundapura. Kerajaan Galuh dan Sundapura adalah dua kerajaan pecahan dari Kerajaan Tarumanegara, yang di masa Prabu Purnawarman yaitu raja ketiga dari Kerajaan Tarumanegara, sengaja dibangun istana baru yaitu Sundapura (pertama kali istilah Sunda ada) dan kemudian oleh Trusbawa menantu Linggawarman Raja ke 12 atau Raja terakhir Kerajaan Tarumanegara dijadikanlah Ibu kota tersebut menjadi Kerajaan Sundapura. Sedangkan, Galuh dijadikan hadiah pada Writekandayu adik dari Gagak Lumayung karena berhasil mengusir penjajah Dinasti Tang tahun 669 masehi yang hendak menguasai Tarumanegara.
Pada abad ke 13 masehi Prabu Jaya Dewata dapat menyatukan kembali dua pecahan Kerajaan Tarumanegara tersebut menjadi satu kembali dengan nama baru yakni Pajajaran, dengan jalan mengawini kedua putri dari kedua kerajaan tersebut. Karena pada waktu itu kedua kerajaan tersebut tidak mempunyai putra maka secara otomatis kedua kerajaan tersebut menjadi hak waris Prabu Jaya Dewata.
Mengenai buku yang ditemukan Raden  Walangsungsang yang bercerita mengenai Kiansantang mengisahkan bahwa Raja Tarumanegara ke 7 yaitu Prabu Singawarman mempunyai seorang putri  yang bernama Sobakencana. Sobakencana dinikahkan dengan Bagawan Manikmaya alias Prabu Damunawan. Atas pernikahan mereka Prabu Singawarman menghadiahi mereka bumi Kendan atau kerajaan Kendan.
Di buku yang ditemukan yang ditemukan Raden Walangsungsang  dikisahkan waktu itu yaitu abad ke 6 masehi atau tepatnya tahun 669 masehi pernah terdapat putra mahkota yang sakti mandraguna, tubuhnya kebal, tak bisa dilukai senjata jenis apapun. Auranya memancarkan wibawa seorang kesatria sejati, dan sorot matanya menggetarkan hati lawan. Dia adalah GAGAK LUMAYUNG. Gagak Lumayang adalah anak dari Bagawan Manikmaya alias Prabu Damunawan dan Sobakencana yang masih keturunan kerajaan Tarumanegara. Dalam cerita di tataran sunda dan sekitarnya tak ada yang mampu mengalahkan ilmu kesaktian Gagak Lumayung.
Suatu saat datang pasukan dari dinasti TANG yang hendak menaklukkan kerajaan Tarumanegara, namun berkat kesaktian Gagak Lumayung pasukan TANG dapat di halau dan lari tunggang langgang meninggalkan Tarumanegara. Semenjak itu Raden Gagak lumayung diberi sebutan ''KI AN SAN TANG'' atau yang artinya ''penakluk pasukan tang''. Sejak saat itu nama Kiansantang melekat pada dirinya.
Diceritakan Kiansantang ini karena saking saktinya hingga rindu ingin melihat darahnya sendiri seperti apa. Hingga sampailah suatu ketika saat dia mendapat wangsit di tapa bratanya bahwa di tanah Arab Mekkah terdapat orang sakti mandraguna yang tak terkalahkan yang bernama Syaidinna Ali dan menurut wangsit sebelum pergi Kiansantang harus berubah nama menjadi GALANTRANG SETRA. Akhirnya Kiansantang pergi ke tanah arab. Konon, dengan ajian Napak Sancangnya Kiansantang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja.
Hatinya tak sabar lagi ingin bertemu Syaidinna Ali. Sepanjang perjalanan dia membayangkan pertarungan hebat antara dirinya dengan Syaidinna Ali. Terbesit juga dalam  pikirannya bahwa akhirnya dialah yang menang. Dengan begitu maka dia akan dikenal sebagai pendekar hebat di seluruh jagat, bukan hanya di tanah Pasundan.
Di mana dalam ceritanya ketika sampai di pesisir Galantrang Setra bertemu seorang pria yang gagah, badannya tegap dan suaranya berwibawa. ,dan kepadanya Kiansantang minta untuk di tunjukkan di mana Syaidinna Ali berada. Kepada orang itu Galantrang Setra bertanya, “Apakah Anda kenal dengan Sayyidina Ali?” “Oh, kenal sekali!” Jawabnya dengan ramah. “Bisakah Anda mengantar saya ke rumahnya?” Tanya Galantrang Setra sekali lagi. “Oh bisa, tentu bisa!”
Tanpa banyak basa-basi lagi, mereka berdua melangkahkan kaki menuju rumah Syaidinna Ali. Semakin jauh melangkah detak jantung Galantrang Setra terasa makin cepat. Pertarungan tidak lama lagi terjadi, pikirnya.
Baru saja beberapa puluh meter melangkah, tiba-tiba lelaki yang mengantarnya itu berhenti sambil menengok ke belakang. “Galantrang, tongkatku ketinggalan. Tolong ambilkan!” Katanya. Galantrang Setra menolak. Pantang baginya disuruh-suruh orang. Apalagi oleh orang Arab yang baru dia kenal.
“Kalau kamu tidak mau mengambilkan tongkatku, maka aku tidak akan mengantarmu ke tempat Syaidinna Ali,” ancam orang Arab itu. Maka terpaksa Galantrang Setra menuruti perintahnya. Tentu saja hatinya menggerutu.
Ketika sampai di tempat yang dimaksud Galantrang Setra mencabut tongkat itu dengan tangan kiri. Dikiranya ringan, karena tertancap ditumpukan pasir. Ternyata sulit dicabut. Kemudian dia mengambilnya dengan tangan kanan. Masih juga tak bisa dicabut. Akhirnya dengan kedua tangan. Aneh, sama sekali tongkat itu tak dapat digerakkan. Galantrang Setra penasaran. Dicobanya sekali lagi dengan mengerahkan seluruh kekuatan lahir dan batinnya. Apa yang terjadi? Tongkat tetap tidak tercabut, malah kedua kakinya amblas terperosok ke dalam hamparan padang pasir.
Tapi, sebagai jawara dia pantang menyerah. Namun, setelah sekian lama mengerahkan seluruh tenaga dan terus menerus membaca mantera, kakinya malah makin amblas. Bahkan, keluar darah dari seluruh pori-pori tubuhnya. Ketika itu, Galantrang Setra tercengang melihat darahnya sendiri. Tiba-tiba orang Arab itu datang menghampiri. Dengan membaca basmallah dia mencabut tongkatnya dengan mudah. Bersamaan dengan itu, hilang pula darah di sekujur tubuh Galantrang Setra.
Sungguh sangat menakjubkan. Galantrang Setra kagum pada kehebatan kalimah yang dibaca si pemilik tongkat. Dia ingin sekali hafal mantera tersebut untuk menambah kesaktiannya. Jika nanti bertarung dengan Syaidinna Ali, mantera itu akan dibacakan olehnya. Pasti dia menang, pikirnya. Maka dia minta diajari membacanya. Tapi orang Arab itu menolak mengajarinya, karena Galantrang Setra bukan orang Islam. Kalau mau Galantrang Setra harus masuk Islam terlebih dahulu.
Mereka terus berjalan menuju rumah Syaidinna Ali. Di tengah perjalanan ada seorang bertanya, “Kenapa kamu terlambat pulang Ali?” Mendengar nama Ali disebut, Galantrang Setra amat terkejut. Dia tak menduga sama sekali, bahwa orang yang sedang bersamanya adalah Syaidinna Ali r.a yang tak lain adalah menantu dari baginda Rasulullah Muhamad saw. Mendadak muncul pikiran, bagaimana mungkin dirinya dapat mengalahkan Syaidinna Ali, sedangkan mencabut tongkatnya tidak bisa sampai-sampai berkeringat darah.
Rasa takut dan malu bercampur jadi satu. Keberanian Galantrang Setra hilang sirna. Seluruh ilmu kanuragan yang selama ini jadi kebanggaannya serasa lenyap seketika. Mungkin lebih baik pulang saja, pikirnya. Tak ada gunanya berlama-lama di Arab. Enggan baginya bertemu lagi dengan Syaidinna Ali.
Namun ketika dalam perjalanan pulang dia bingung tak tahu jalan. Langkah kakinya tak tentu arah. Seperti ada kekuatan yang menghalanginya pulang. Di sela-sela istirahat melepas lelah, dia teringat pada mantera yang diucapkan Syaidinna Ali. Betapa hebatnya mantera itu, pikirnya.
“Kau harus masuk Islam!” Suara ini terngiang-ngiang di telinga Galantrang Setra. Ya, aku harus masuk Islam jika ingin diajari kalimah sakti itu. Padahal, selama ini, dia menganut agama Hindu, memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Bagaimana pula dengan ayahandanya Prabu Damunawan, jika tahu dia meninggalkan agama leluhurnya.
Akhir Galantrang Setra memutuskan bersedia masuk Islam demi memiliki ilmu linuwih. Karena itu, dia kembali menemui Syaidinna Ali. Di sana dia dibimbing mengucapkan dua kalimah syahadat. Juga dibimbing mengucapkan basmallah. Selain kalimah-kalimah tadi, banyak lagi kalimah-kalimah lain yang dia hafalkan selama dia mukim di Arab. Konon, setelah dua puluh hari belajar agama Islam Galantrang Setra pulang ke Galuh.
Setibanya di Galuh, dia segera menghadap ayahandanya. Dia ceritakan pengalamannya di tanah Arab dari mulai bertemu dengan Syaidinna Ali hingga masuk Islam. Kini dia percaya kalimah Bismillah dan syahadat sangat hebat faedahnya. Karena itu dia berharap ayahandanya masuk Islam juga.
Mendengar kehebatan Syaidina Ali, Prabu Damunawan sangat kagum dan tidak keberatan anaknya, Raden Gagak Lumayang alias Raden Kiansantang memeluk Islam jika memang dia suka. Tapi, bagi dirinya tidak mungkin meninggalkan agama Hindu yang sejak puluhan tahun dianutnya.
Betapa kecewa hati Kiansantang karena ayahnya menolak masuk Islam. Padahal menurutnya, Islam-lah agama yang benar. Dengan susah payah, dia membujuk ayahnya. Tapi tiada hasilnya Prabu Damunawan tetap memuja dewa. Hal ini membuatnya sadar, bahwa pengetahuannya tentang Islam masih sedikit sekali dan belum memahami cara-cara dakwah.
Akhirnya Kiansantang kembali ke Arab untuk belajar Islam lebih mendalam. Setelah tujuh tahun bermukim di sana, Kiansantang pulang lagi ke Galuh dan berganti nama menjadi Haji Lumajang (Pangeran Lumajang Kudratullah) atau Sunan Godog.
Cerita tersebut membumi sekali sampai saat sekarang. Dan yang aneh, kebanyakan orang menduga kalau Kiansantang itu adalah Raden Walangsungsang. Padahal banyak sekali cerita yang sepadan dengan kisah Raden Walangsungsang tersebut. Yang sesungguhnya dialah yang mengisahkan justru Raden Walangsungsang yang di kira Raden Kiansantang. Tujuannya adalah hanya sebagai media dakwah dan penyebaran Islam di bumi Cirebon dan sekitarnya.
Sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang menyangka Raden Walangsungsang adalah Kiansantang bahkan ada yang menafikan Kian Santang adalah anak dari Prabu Siliwangi yang mempunyai kakak Walangsungsang dan adik Rarasantang. Tentu hal ini akan membuat bingung karena Syadinna Ali hidup antara tahun 500-650an sedang Raden Walangsungsang atau babad tanah cirebon itu sekitar tahun 1400an.
Raden Walangsungsang mengambil cerita ini dari perpustakaan kerajaan Pajajaran dengan pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya, Yang di mana Kiansantang setelah pulang dari arab dia ingin mengislamkan ayahnya Prabu Damunawan namun di tolaknya dan Kiansantang memilih meninggalkan istana Galuh dan tahtanya diberikan kepada adiknya yaitu Writekandayu.
Begitu pula Raden Walangsungsang yang pernah merantau ke Arab dan menikahkan adiknya Rara Santang yang di ambil istri oleh putra kerajaan mesir waktu itu dan pernikahan berlangsung di mesir yang. Dari perkawinan inilah lahir Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Keinginan Walangsungsang untuk mengislamkan Prabu Siliwangi pun ditolak mentah-mentah dan ayahnya tidak ingin bertarung dengan anaknya maka dia memilih mensucikan diri atau bertapa, konon Prabu Siliwangi menjelma menjadi macan.
Pengambilan kisah penokohan dalam sebuah ceritra seperti ini sebenarnya pernah pula terjadi pada era sebelum Raden Walangsungsang yang tepatnya dilakukan oleh Raja Jaya Baya (raja islam pertama di tanah jawa) dari kerajaan Panjalu atau Kediri, di mana sewaktu masih di pegang Raja Airlangga kerajaan tersebut bernama Kerajaan Kahuripan dan karena kedua anaknya semua meminta tahta maka Kahuripan di bagi dua menjadi Kerajaan Panjalu dan Penggala. Sepanjang perkembangan dua kerajaan tersebut selalu bermusuhan dan pada masa Kerajaan Panjalu dirajai oleh Jaya Baya, Panjalu mampu menaklukkan Jenggala dan disatukan lagi antara Jenggala dan Panjalu.
Pada waktu Panjalu menaklukkan Jenggala, Raja Jaya Baya meminta empu Sedha dan empu Panuluh untuk mengutip naskah dari india yang judulnya Maha Barata. Namun diferifikasi dengan gaya jawa. Sebagai perlambang atas kemenangan perang saudara Panjalu atas Jenggala. Yang akhirnya kitab tersebut di beri judul Barata Yuda. Dan dalam kisah klasik jawa ini banyak kalangan masarakat yang mengira bahwa Jaya Baya adalah kelanjutan dari trah barata yaitu cicit dari Parikesit putra Abimanyu dan kakek dari Angling Darma, padahal itu hanya fiksi. Juga kisah lainnya yang serupa pernah pula hadir ke masyarakat yang tujuannya waktu itu sebagai media dakwah untuk melindungi rongrongan ajaran syariat terhadap kaum sufi. Maka ketika bergerak menyebarkan islam WALI SONGO menurut banyak kalangan membuat cerita al-halaj dalam versi indonesia yaitu cerita Syekh Siti Jenar. Yang menurut Dr. simon dari UGM berdasarkan temuannya karya-karya besar berupa naskah suluk dari Sunan Kalijaga dan lain sebagainya. Dapat di pastikan tokoh Siti Jenar adalah imajener hanya untuk media dakwah dan melindungi Islam agar tetap pada ajaran ahlusunah wa jamaah. Dan sampai saat ini pendapat itu masih simpang siur dan menjadi perdebatan dan polemik panjang oleh para ahli sejarah di tanah air.
Kembali mengenai Kiansantang. Seperti sufi pada umumnya, fase perjalanan hidup diakhiri dengan lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Konsentrasi pikiran hanya tertuju pada-Nya. Dia hindari segala perkara yang dapat memalingkan hati pada selain Yang Di Atas. Untuk itu Prabu Kiansantang memilih uzlah, menjauhi keramaian dan gemerlap kehidupan istana.
Dikisahkan, seusai serah terima jabatan, Kiansantang pergi mencari tempat sepi dengan membawa sebuah peti. Mula-mula pergi menuju Gunung Ciremai yang cukup tinggi dan hawanya sangat dingin. Setelah sampai di sana, peti itu diletakkan di atas tanah. Ternyata si peti diam saja, tidak bergoyang. Ini tanda bahwa tempat itu tidak cocok untuk dihuni.
Kemudian, Kiansantang meninggalkan tempat itu dan pergi ke arah barat menuju Tasikmalaya. Sesampainya di sebuah gunung, dia letakkan lagi peti tersebut. Ternyata si peti diam juga, tidak memberi isyarat bagus. Maka tempat itu pun dia tinggalkan.
Akhirnya, dia kembali pergi menuju arah utara, ke wilayah Garut. Ketika sampai di sebuah gunung, diletakkanlah peti petunjuk itu di atas tanah. Tiba-tiba si peti bergoyang-goyang. Ini pertanda tempat itu baik untuk dihuni. Maka disitulah Kiansantang tinggal hingga wafatnya setelah bertafakur selama sembilan belas tahun.

Sumber :
1.       http://my.opera.com/Jiwa558/blog/show.dml/2857408/
2.       http://kiansantang.blogspot.com/


Artikel Terkait:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar